Selasa, 28 Juni 2011

Bapak Dan Intelektual Pengendara


Malam itu berselang beberapa minggu sejak malam ini
Itu hari dimana bapak pengen “nyoba” keahlihan menyetir ku
Meskipun sebenarnya aku juga sudah sering membelah jalanan kota Surabaya yang padat, panas dan beuh njengkeliin. Tentunya keahlihan nyetirku tidak perlu diragukan.
Banyak teman bilang terlalu telat aku belajar mobil sekarang, toh dirumah juga ada beberapa mobil nganggur. Bapak pernah bilang, Manusia itu memang tidak akan puas akan sesuatu. Ia dikasih kaki untuk berjalan, ia tidak ingin berjalan. Belilah mereka sepeda, sudah memiliki sepeda, manusia itu capek mengayuh sepeda. Belilah mereka motor, ketika motor telah dipegang, mereka merasa panas matahari. Belilah mereka mobil,dan hingga akhirnya mobil hanyalah sebuah barang “pamer” tidak lebih dari fungsi dan kebutuhan manusia itu sendiri.
Alasan tersebutlah yang buat aku juga nggak tergiur ngerengek untuk mengendarai mobil dahulu.
Tapi tuntutan kerja tidak dapat dipungkiri, aku Butuh kendaraan yang efisien, memudahkan, dan lebih aman ketimbang sepeda motor.*itu pembelaanku
Kembali pada malam “Tes” Bapak, setelah muter-muter sekitar 30 menit, bapak mengingatkan kestabilan gas yang di injek. Bapak mengandaikan pada kehidupan, perlahan namun pasti. Tidak naik turun, stabil. Jika pada mobil manual, hidup itu juga harus harmonis, bagaimana kopling dilepaskan perlahan, dan gas diinjak seirama dengan kopling. Gerak yang belawanan dengan irama yang sama. Selesai tentang injak menginjak. Naik ke perputaran tangan.
“saat belok, ketika mulai membelokkan hingga akan kembali ke jalan lurus, jarak roda dan trotoar haruslah selalu sama.tidak semakin menjauh tidak semakin mendekat.”
Bapak juga bilang, itu yang orang jalani ketika mereka mengikuti arusnya, jika dia menjalani jalannya dengan baik. Maka akan menjahui yang namanya masalah dan kecelakaan.
Kembali berjalan menyusuri jalanan yang tidak ramai dan juga tidak sepi. Cermat, perlahan.
Tiba-tiba berjalan sebuah mobil pribadi yang nggak jelas jalannya. Tidak dijalur kiri, maupun jalur kanan. Ditengah-tengah dengan kecepatan yang sedang. Bapak pun kembali mengomentari.
“Orang yang mengendarai nggak jelas kaya gitu, ngelihatin intelektual pribadinya rendah. Akhirnya kan membuat bingung orang di belakangnya, mau kekanan atau kekiri jadi nggak jelas, mau ngeduluin nggak bisa, ditunggu terus-terusan juga ngerugi’in.”
Bapak mencontohkan lagi pada kehidupan, dimana kita hidup itu nggak sendirian. Seperti mengendarai mobil di jalan, ada mobil-mobil lainnya yang pemngemudinya masing-masing punya kepentingannya. Sama kaya manusia, disamping kiri dan kanannya ada manusia lainnya. Yang sudah semestinya ketika bertindak. Juga harusnya melihat orang lain, apakah itu merugikan atau tidak. Apakah menghambat orang lain atau tidak. Harga menghargai itu haruslah ada. Itu hanyalah salah satu hal kecil yang penting dan sering dilupakan orang.
Itulah akhir dimana tes menyetir mobilku. Meski bapak sekarang merasa sudah dikit lega bahwa putrinya sudah pintar mengendara mobil, dan yang bagiku, semakin besar lagi tanggung jawab yang aku pegang. Bismillah, ia sayang bapak.
*judul keduanya adalah Kuliah 1 jam tentang kehidupan

1 komentar:

  1. cerita ttg kehebatan seorg ayah memang tak akan ada habisnya. banyak pelajaran hidup yg bs kita ambil dr beliau.

    BalasHapus